Selasa, 31 Januari 2012

Prolog City of Lost Souls

Cassandra Clare melanjutkan seri megabestseller The Mortal Instruments dengan buku kelima, City of Lost Souls.
Clare melalui seri The Mortal Instruments telah memiliki basis penggemar yang sangat kuat di dunia, termasuk Indonesia. Lebih dari 5,5 juta kopi bukunya terjual di seluruh dunia. Sambil menunggu, nikmatilah prolog eksklusif City of Lost Souls.


                     Prolog

Simon berdiri memandangi pintu depan rumahnya dengan mati rasa.
   Ini satu-satunya rumah yang pernah diketahuinya. Di sinilah orangtuanya membawanya pulang ketika dia lahir. Dia dibesarkan di dalam dinding rumah deret Brooklyn. Dia bermain di jalanan di bawah bayangan pepohonan rimbun pada musim panas, dan membuat papan luncur dari tutup tong sampah pada musim dingin. Di rumah inilah keluarganya duduk berduka selama seminggu setelah ayahnya meninggal. Di sinilah dia mencium Clary untuk kali pertama.
   Tak pernah dia bayangkan datangnya hari ketika pintu rumah ini tertutup baginya. Kali terakhir dia melihat ibunya, sang Ibu memangilnya monster dan berdoa agar dia pergi. Dia membuat ibunya lupa bahwa dirinya vampir, menggunakan tudung pesona, tapi dia tidak tahu berapa lama tudung pesona itu akan bertahan. Ketika dia berdiri di dalam udara musim gugur yang dingin, sambil menatap kosong, dia tahu tudung pesona itu tidak cukup lama bertahan. Pintu itu digambari tanda—Bintang-bintang David dipulas dengan cat, bentuk tajam simbol Chai, kehidupan. Kotak teffilin yang berisi gulungan kitab diikat kepada kenop pintu dan pengetuk. Sebuah motif hamesh, Tangan Tuhan, menutupi lubang intip.
   Dengan mati rasa, dia menyentuh mezuzah logam yang dipasang di kanan ambang pintu. Dia melihat asap membubung dari tempat tangannya menyentuh benda suci itu, tapi dia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada sakit. Hanya hampa kosong yang mengerikan, menanjak perlahan menjadi amarah yang dingin.
   Ditendangnya bagian bawah pintu dan dia mendengar gemanya menembus rumah. “Ma!” teriaknya. “Ma, ini aku!”
     Tidak ada jawaban—hanya bunyi baut diputar pada pintu. Pendengarannya yang lebih peka telah mengenali bunyi langkah kaki ibunya, napas ibunya, tapi sang Ibu tidak mengatakan apa-apa. Dia bisa mencium bau aroma rasa takut dan panik yang tajam menembus kayu. “Ma!” suaranya terpatah. “Ma, ini konyol! Izinkan aku masuk! Ini aku, Simon!”
    Pintu bergetar keras, seperti baru ditendang oleh ibunya. “Pergi!” suara wanita itu parau, tak bisa dikenali karena ketakutan. “Dasar pembunuh!”
 “Aku tidak membunuh orang.” Simon menyandarkan kepalanya ke pintu. Dia tahu mungkin dia bisa menendang pintu ini hingga roboh, tapi apa gunanya? “Aku sudah bilang. Aku minum darah binatang.”
   Dia mendengar bisikan, pelan, beberapa kata dalam bahasa Ibrani. “Kau membunuh anakku,” kata sang Ibu. “Kau membunuhnya dan menggantikannya dengan monster.”
       “Aku anakmu—”
    “Kau memakai wajahnya dan bicara dengan suaranya, tapi kau bukan dia! Kau bukan Simon!” suaranya meninggi hampir menjerit. “Pergi dari rumahku sebelum aku membunuhmu, Monster!”
    “Becky,” kata Simon. Wajahnya basah; dia mengangkat dua tangan untuk menyentuh wajahnya, dan ketika ditarik tangannya ternoda. Air matanya berdarah. “Mama bilang apa kepada Becky?”
     “Menjauh dari kakakmu.”
    Simon mendengar gemerencing dari dalam rumah, seperti sesuatu terjatuh.
   “Ma,” kata Simon lagi, tapi kali ini suaranya tidak bisa mengeras. Suaranya keluar berupa bisik parau. Tangannya mulai berdenyut. “Aku perlu tahu—Becky ada di sana? Ma, buka pintunya. Tolonglah—”
     “Menjauh dari Becky!” Ibunya mundur dari pintu; Simon bisa mendengar itu. Kemudian, terdengar derit pintu dapur yang diayun dibuka, decit lantai linoleum ketika dipijaki. Bunyi laci dibuka. Mendadak Simon membayangkan ibunya mengambil salah satu pisau.
      Sebelum aku membunuhmu, Monster.
     Pikiran itu membuat Simon terhuyung mundur. Kalau sang Ibu menyerangnya, Tanda-nya akan bereaksi. Tanda itu akan menghancurkan ibunya seperti menghancurkan Lilith.
     Simon menurunkan tangannya dan mundur pelan-pelan, tersandung undakan dan menyeberangi trotoar, mencapai tujuannya pada batang salah satu pohon besar yang membayangi blok perumahan itu. Dia berdiri di tempat, memandangi pintu depan rumahnya, yang kelihatan buruk karena digambari simbol-simbol kebencian ibunya terhadapnya.
  Tidak, Simon mengingatkan diri sendiri. Ibunya tidak membencinya. Ibunya mengira dia sudah mati. Apa yang dibenci ibunya adalah sesuatu yang tidak ada. Aku bukanlah sesuatu yang dikatakannya.
   Dia tidak tahu berapa lama dia akan berdiri di situ, memandang kosong, kalau teleponnya tidak mulai berdering, menggetarkan saku jaketnya. Secara refleks dia meraih benda itu, menyadari pola dari bagian muka mezuzah—Bintang-bintang David yang bertautan—terbakar ke dalam telapak tangannya. Dia berganti tangan dan mengangkat telepon ke telinga.
       “Halo?”          
       “Simon?” Itu Clary. Ia terdengar kehabisan napas. “Kau di mana?”
     “Rumah,” Simon berkata, lalu berhenti. “Rumah ibuku,” ralatnya. Suaranya terdengar hampa dan jauh bagi telinganya sendiri. “Kenapa kau belum kembali di Institut? Semuanya baik-baik saja?”
   “Itu dia,” kata Clary. “Tepat setelah kau pergi, Maryse turun dari atap tempat Jace seharusnya menunggu. Tidak ada siapa-siapa di sana.”
 Simon bergerak. Tanpa cukup sadar bahwa dia melakukannya, seperti boneka mekanis, dia mulai menyusuri jalan, ke arah stasiun bawah tanah. “Apa maksudmu, tidak ada siapa-siapa di sana?”
   “Jace hilang,” kata Clary, dan Simon bisa mendengar ketegangan dalam suaranya. “Begitu pula Sebastian.”
    Simon berhenti di dalam bayangan pohon yang berdahan polos. “Tapi, dia sudah mati. Dia sudah mati, Clary—”
   “Kalau begitu, katakan kenapa dia tidak ada di sana, karena dia tidak ada,” kata Clary, akhirnya suaranya pecah. “Tidak ada apa-apa di atas sana selain banyak darah dan kaca pecah. Mereka berdua hilang, Simon. Jace hilang...”
Share on :

2 comments:

zalfaaisha mengatakan...

kapan sih edisi indonesia terbit???

Katarina Anathasia mengatakan...

Please city of heavenly fire terjemahan indonesianya agar segera diterjemahkan dan diterbitkan secepat mungkin. Terima kasih

Posting Komentar

 
© Copyright Ufuk Fiction Magazine 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all