Senin, 12 Maret 2012

Kisah Klasik tentang Kegalauan dan Penemuan Jati Diri

The Bell Jar berkisah tentang pergulatan jiwa seorang gadis muda berusia sembilan belas tahun bernama Esther Greenwood. Novel ini menggambarkan pergulatan jiwa tokoh protagonis, Esther, ketika dihadapkan pada begitu banyak pilihan hidup di depan matanya, lingkungan sosial, dan persepsinya sendiri tentang nilai-nilai moral dan sosial di tengah-tengah masyarakat yang memiliki standar ganda.
Suatu ketika Esther mengikuti sebuah kontes menulis esai tentang fashion yang diseleggarakan sebuah majalah fashion ternama di kota New York. Sebagai hadiah kemenangannya, dia memperoleh kesempatan magang di majalah tersebut selama satu bulan. Hingga titik itu, dia masih mempunyai impian menjadi seorang penulis.
Bersama sebelas pemenang kontes lainnya, dia diberi fasilitas tempat tinggal di sebuah hotel yang hanya diperuntukkan bagi tamu perempuan, The Amazon. Kebanyakan penghuni hotel tersebut adalah anak-anak gadis seusianya yang berasal dari keluarga kaya, yang tinggal di sana karena orangtua mereka ingin memastikan bahwa mereka jauh dari para pria yang mungkin akan menipu mereka. Mereka adalah murid sekolah perempuan, yang banyak di antaranya tidak menggunakan pendidikannya untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan menunggu waktu untuk menikah dengan pria mapan. Di mata Esther, mereka terlihat membosankan dan memuakkan. Di sini pulalah Esther bertemu dengan Doreen, seorang gadis liberal yang berbeda dengan gadis-gadis lain di hotel.
Esther, yang selama sembilan belas tahun hidupnya tidak pernah menjalani kehidupan lain di luar New England, tempat asalnya, begitu tiba di New York mencicipi kehidupan yang berbeda. Dia bertemu dengan selebriti dunia fashion dan bekerja dengan editor fashion terkemuka.
Esther didera kecemasan akan masa depannya terkait dengan perannya sebagai perempuan. Kecemasannya bukan karena dia tidak yakin bahwa dia akan sukses di masa depan, melainkan dia cemas tidak bisa mencapai kesuksesan karier jika pada saat yang sama menjalani perannya sebagai perempuan sebagaimana diharapkan masyarakat. Prestasi yang dicapainya, misalnya memperoleh berbagai penghargaan akademis atau penulisan, tidak dianggap sebagai sebuah pencapaian oleh masyarakat. Di mata masyarakat, perempuan ideal adalah mereka yang menjalankan tugas-tugas “kewanitaan” misalnya mengurus keluarga, memasak, menjahit, dan sebagainya, sementara Esther mendapati dirinya tidak bisa melakukan semua itu. Pada saat yang sama, dia merasa mempunyai banyak pilihan, namun semua pilihan itu tidak sesuai dengan harapan masyarakat terhadapnya.
Kecemasan berkepanjangan yang dalaminya membuatnya merasa sangat terkungkung, sehingga dia mencoba bunuh diri beberapa kali, dan bahkan sampai mendapatkan perawatan mental.
Di tengah-tengah masyarakat yang menghendaki perempuan berperan sebagai pendukung pria melalui tugas-tugas kerumahtanggaan, dia tampil sebagai tokoh yang melihat banyak pilihan lain yang bisa diambil wanita. Hanya saja, gagasannya tentang keragaman pilihan yang tersedia dalam hidup berbenturan dengan gambaran ideal masyarakat.
Esther merasa terbebani untuk menjadi sukses dalam karier apa pun yang dipilihnya karena lingkungan menghendakinya, sekalipun dia tidak bisa memutuskan karier apa yang akan dipilihnya, dan malah terjebak dalam kebingungannya sendiri akibat perbenturan nilai yang dialami dan disaksikannya. Setelah mendapatkan perawatan untuk mengatasi gangguan kejiwaannya, dia masih merasa terbebani karena lingkungan sosial mungkin akan memberinya stigma setelah gangguan kejiwaan yang dialaminya.
            Dalam hal seksualitas, Esther membedakan manusia hanya berdasarkan relasi seksual: orang yang berhubungan seks dan yang tidak. Persepsinya tentang seksualitas kembali dibenturkan pada kenyataan lain yang disaksikannya. Pertama adalah Doreen, kawan sesama pemagang yang berpikiran dan berperilaku liberal. Di matanya, orang-orang permisif seperti Doreen adalah objek kesenangan semata dan bahkan hinaan, namun di sisi lain mereka dianggapnya memiliki satu rahasia kehidupan yang tak dimilikinya. Kedua adalah Buddy Willard, kekasihnya, yang menghendakinya tetap perawan sementara dia sendiri justru menjalin affair. Pada akhirnya, di matanya Buddy tidak lebih dari sekadar seorang munafik. Inilah hal lain yang membuatnya merasa cemas dan terkungkung, karena dia menganggap sistem moral telah gagal ketika diketahuinya bahwa banyak orang yang melanggarnya, sementara dia sendiri berusaha mengikutinya, misalnya dengan tetap mempertahankan keperawanannya.
Ketika pada akhirnya dia memutuskan untuk melepas keperawanannya, hal ini bisa dipandang sebagai kebebasannya untuk menentukan seksualitasnya secara mandiri. Namun, di sisi lain, dia melakukannya dengan didasari gagasan dangkal bahwa keputusannya melepas keperawanan mungkin bisa membebaskannya dari kungkungan yang dirasanya.
   The Bell Jar, yang menjadi judul novel ini, merupakan simbol keterkungkungan Esther. Guci kaca tersebut berisi ornamen, namun membatasi aliran udara dan menyesakkan. Esther sendiri membayangkan dirinya terbelenggu dan terjebak di sebuah pohon dan tidak mampu memilih ranting mana yang harus dipilihnya, yang merupakan simbol pilihan karir.
 
Novel ini adalah cerita tentang perempuan dan bagaimana perilaku mereka dalam merespons nilai-nilai dan pola perilaku sosial. Banyak perempuan mengikuti arus dan menerima syarat sosial yang ditetapkan untuk mereka, namun banyak juga yang melihat pilihan lain selain apa yang “ditetapkan” masyarakat untuknya.
Kekuatan novel ini terletak pada kekuatan penulisnya dalam menguraikan keterkungkungan yang dialami tokoh sentralnya. Di samping itu, ide-ide independensi wanita digambarkan dengan cukup menarik dan rumit, dan mampu memberi pembaca gambaran tentang pola sosial dan perilaku. Dalam novel ini diperlihatkan bahwa perempuan mempunyai banyak pilihan dan masyarakat mendorong untuk berkembang dan maju. Namun, masyarakat memang mempunyai standar ganda, karena pada akhirnya ada nilai sosial dan pola perilaku yang menentukan bahwa perempuan tetap “diharuskan” kembali ke rumah dan menjalankan fungsi kerumahtanggaan sebagai istri dan ibu rumah tangga serta melepaskan semua hasil pendidikan, pelatihan, bahkan ide-ide mereka tentang “kekuatan” perempuan dan peran lebih yang bisa diambil di masyarakat. (Kania D)
Share on :

0 comments:

Posting Komentar

 
© Copyright Ufuk Fiction Magazine 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all